sekedar coretan :)
HUJANKU
- Cinta itu seperti pasir, jika kau lepaskan ia akan hilang, jika kau
genggam ia akan bersamamu, dan jika kau genggam sangat erat ia akan hilang
perlahan-lahan -
Sakit.
Sakit. Sakit sayang.
Bahkan
sekalipun tertusuk sembilu takkan sesakit ini, seperih ini, aku yakin.
Dua jam sudah, dan cairan bening ini tak juga ingin
berhenti. Kutepisnya kasar, lalu keluar dua kali lebih banyak, lagi dan lagi
tanpa bisa kuhentikan sedetik pun. Aku terisak pelan lalu menyambar kain di
depanku, aku lelah sayang, aku lelah kau
campakkan begini. Tapi aku tak bisa berhenti.
“Finda, sudah cukup, kamu harus move on sekarang,
kenapa sih kamu senang disakiti begitu, hah?”
Suara Mida menggelegar di telingaku, mengaduk
perasaanku lebih dalam. Aku pun tak ingin seperti ini, setelah bertahan satu
setengah tahun dengan begitu indah, dan semuanya harus kurelakan secepat ini?
Harus berakhir menyedihkan seperti ini? Jangankan move on, menggerakkan seujung
kukupun aku tak sanggup. Aku sudah mempertahankanmu sebegini lama, mengikat
hatiku dengan harapan setinggi awan, dan harus mati terinjak segini cepat? Aku
tak mungkin rela. Aku tak bisa mengontrol perasaanku sendiri Mida, kau paksa
sekeras apapun. Aku ingin Raditku kembali.
“Masih ada jutaan lelaki seperti apapun yang kamu
mau yang lebih baik daripada Radit itu, Fin,”
Kudengar suaranya melemah dan ia memijat keningnya
pelan. Maaf Mida, Rifa. Membuat kalian begitu khawatir dengan kekonyolanku.
Dengan perasaanku yang bahkan aku pun tak bisa mengendalikannya. Aku yang
salah, aku yang bodoh.
Aku pun yakin kalian akan menyalahkanku jika kalian
tahu semuanya. Aku yang overprotective,
mengekang kekasihku sebegitu ketat, memegang tangannya begitu erat, tapi
mencintainya jauh lebih dari apapun. Yang masih mencintainya meski sudah lebih
dari 5 kali ia mengatakan bosan, bosan, dan begitu bosan.
Jika kalian bertanya, apa yang kucintai dari Radit,
aku pun tak tahu harus mengatakan apa. Aku suka semuanya dari Radit. Aku suka
dia. Aku cinta dia. Aku menggilainya, hingga begitu gila. Dan kini, saat gilaku
benar-benar sudah diujung batasnya, ia mengatakan ia begitu lelah denganku, ia
sudah bosan dengan hubungan ini.
Aku
masih tak mengerti denganmu, aku masih begitu yakin dengan cintamu.
Kembali kuusap air mataku, pedih dan jauh lebih
pedih dalam setiap tetesnya. Kualihkan pandanganku pada kaca jendela. Hujan
diluar masih begitu deras, gorden jendela kamar kosku bergerak-gerak tertiup
angin.
Aku selalu
suka hujan, hujan yang dingin, segar, dan mengalir. Radit yang mengalir, apa
adaya, kurus dan dingin, menyegarkan, membuatku ingin lebih dekat dan dekat.
Aku ingin memiliki Radit sebanyak-banyaknya, selama-lama mungkin, tapi itu sama
halnya dengan tidak mungkin.
Hujan itu datang, menyegarkan, mengalir, hilang
ditelan bumi, menempuh siklusnya dan ia akan kembali lagi. Memberikan asa lagi,
lalu hilang lagi. Dan Radit itu seperti hujan, tapi aku tak ingin ia menjadi
hujan. Aku ingin dia di dekatku saja, menggenggam tanganku saja, aku tak ingin
yang lain pun ingin memilikinya. Tapi bahkan air pun dibutuhkan semua makhlik
hidup dan ia senang dibutuhkan semua orang, sama seperti Radit.
Dan kuamati lagi hujan itu. Masih sebegitu deras,
sebegitu nyata. Menggantikan Radit yang tak mau bahkan untuk sekedar mengangkat
telpon ku, ia sudah lelah dikekang. Ia tak bisa lagi denganku. Dan itu
membuatku menangis lagi, sakit lebih dari sekedar sakit.
Semalam aku menelpon Rifa, menangis lama, bercerita
lama, tapi bahkan itu tak bisa mengurangi luka menganga di hatiku. Mida kembali
menatapku, Ia benar-benar sudah menyerah denganku, tak tahu apalagi yang harus
ia katakan untuk sekedar menghiburku. Hanya
Radit yang bisa Mida, beri aku Raditku lagi, aku butuh dia, butuh seperti air
dan nafas.
Seringkali aku merasa Radit begitu menyayangiku.
Tapi siapa yang rela menyerahkan waktunya untuk gadis sepertiku? Yang tak
memiliki satupun dari sebuah kesempurnaan. Aku tidak cantik, tidak baik, tidak
bertubuh indah, tapi bahkan aku berani menuntut sebegini banyak. Ia pasti sudah
sampai batasnya. Ya, ia sudah bertahan begitu lama.
Dulu, awal-awal dulu ia selalu bersedia meluangkan
waktunya untukku, menghabiskan banyak waktunya untukku. Bahkan ia akan
memilihku daripada sahabat-sahabat terbaiknya. Meyakinkanku bahwa ia
benar-benar mnyukaiku bukan sekedar kasihan.
Mungkin jatah kebahagiaanku sudah kuambil semua dulu
itu, saat ia benar-benar mengalah padaku dan aku yang begitu egois selalu
menuntut lebih darinya. Dan haruskah aku menyalahkannya sekarang saat ia bosan
dan aku masih begitu membutuhkannya? Sebegitu mencintainya sampai begini sakit.
Aku
bingung, sayang. Aku bingung apalagi yang harus kulakukan.
Aku sering bertanya padanya apa salahku hingga ia
bahkan tak sudi lagi menatap wajahku, bercanda denganku seperti waktu dulu.
Tapi itu hanya pura-pura, hanya kebohongan dan ilusi dari keegoisanku sendiri.
Sepenuhnya aku tahu ia tak lagi seperti dulu, yang
sudi menemaniku sebanyak apapun buruknya aku. Sepenuhnya aku yakin ia akan
lebih baik tanpaku, lebih bahagia menikmati waktunya tanpaku. Tapi bagaimana
denganku ini? Yang belum bisa kau campakkan begini, belum mampu kehilangan
hujanku. Masih ingin bersamamu selamanya.
Aku tak ingin menyalahkanmu atas semua ini.
Aku ingin secepat mungkin melepaskanmu dari
kekejamanku, tapi aku belum mampu, aku begitu takut dan depresi tanpamu.
Angin menerpa wajahku dengan kencang. Mengaburkan
pandanganku. Begitu pedih dan memukau pada saat yang bersamaan. Hujan
pelan-pelan mereda, berpadu dengan angin menyusuri udara, kehampaan.
Aku menghela nafas pelan. Aku masih terisak pelan.
Hujan hapus airmataku, seperti Radit yang selalu melakukannya, dulu. Aku
mencintainya hujan, hingga aku tak bisa menemukan kata yang mampu mewakili rasa
ini padanya. Aku menggilainya hujan, sampai hatiku rasanya kebas.
Tadi siang aku bertemu dengannya. Tapi ia
mengabaikanku lagi. Kami dekat, tapi begitu jauh. Semakin kudekati, semakin
lebar langkahnya menjauh.
‘Kumohon tetaplah disini, mencintaiku sama seperti
dulu. Menjalani semuanya seperti dulu. Aku berjanji akan membuatmu bahagia
lagi, tersenyum lagi seperti dulu, aku tak akan mengekangmu.’
Dan itulah jeritan keegoisanku. Ia tak ingin
denganku lagi. Ia ingin berpisah, berakhir semua. Dan aku selalu memaksanya,
mengancamnya untuk selalu dekat, memarahinya agar selalu di sampingku. Aku
selalu berilusi ia bahagia denganku, meyakinkanku bahwa ia bahagia dengan semua
ini. Padahal aku tahu itu hanya sebuah kebohongan semu.
Air mataku mengalir kesetanan. Ia mencampakkanku
sekarang, dan itu bukan salahnya. Aku mencintainya lebih banyak sekarang, dan
ia terlalu jenuh untuk sekedar memandangku.
Aku ingin move on, aku ingin berhenti mencintaimu,
aku menyesal menyakitimu saat bersamaku, begitu menyesal sampai mati rasa. Aku
ingin bisa membebaskanmu sekarang, tapi aku selalu ingin tidur selamanya saat
tahu kita tak ada hubungan apa-apa lagi.
Maafkan aku.
Maafkan salahku padamu, segala kekangan, segala
sikapku yang sering menyakitimu.
Mungkin sehari, seminggu, sebulan atau setahun lagi
jika aku bisa bernafas tanpa memilikimu, aku berjanji tak akan memaksamu lagi,
aku berjanji akan melepaskanmu. Aku yakin kamu tahu jika aku masih sangat
menyanyangimu, dan itu justru menyakitimu lebih banyak.
Hujan sudah berhenti, tetes-tetes terakhir
menghujani tanah. Meninggalkan ku lagi sampai entah kapan. Kututup tirai
jendela dan aku berbalik, mengusap airmata yang bahkan tak kuasa berhenti.
Aku selalu ingin membuatmu bahagia sayang, tersenyum
denganku. Tapi jika aku selalu dan selalu membuatmu terkekang dan bersedih,
maka bahagialah tanpaku. Aku berusaha melepaskanmu sekarang. Mungkin ini yang
terbaik yang bisa kulakukan untuk bahagiamu. Hubungan ini lebih dari cukup
untuk sekedar menyakitimu.
One
step closer to move on.