Pichu - Pokemon

Selasa, 11 Desember 2012

hujankuu


sekedar coretan :)
 
HUJANKU
                - Cinta itu seperti pasir, jika kau lepaskan ia akan hilang, jika kau genggam ia akan bersamamu, dan jika kau genggam sangat erat ia akan hilang perlahan-lahan  -

Sakit. Sakit. Sakit sayang.
Bahkan sekalipun tertusuk sembilu takkan sesakit ini, seperih ini, aku yakin.
Dua jam sudah, dan cairan bening ini tak juga ingin berhenti. Kutepisnya kasar, lalu keluar dua kali lebih banyak, lagi dan lagi tanpa bisa kuhentikan sedetik pun. Aku terisak pelan lalu menyambar kain di depanku, aku lelah sayang, aku lelah kau campakkan begini. Tapi aku tak bisa berhenti.
“Finda, sudah cukup, kamu harus move on sekarang, kenapa sih kamu senang disakiti begitu, hah?”
Suara Mida menggelegar di telingaku, mengaduk perasaanku lebih dalam. Aku pun tak ingin seperti ini, setelah bertahan satu setengah tahun dengan begitu indah, dan semuanya harus kurelakan secepat ini? Harus berakhir menyedihkan seperti ini? Jangankan move on, menggerakkan seujung kukupun aku tak sanggup. Aku sudah mempertahankanmu sebegini lama, mengikat hatiku dengan harapan setinggi awan, dan harus mati terinjak segini cepat? Aku tak mungkin rela. Aku tak bisa mengontrol perasaanku sendiri Mida, kau paksa sekeras apapun. Aku ingin Raditku kembali.
“Masih ada jutaan lelaki seperti apapun yang kamu mau yang lebih baik daripada Radit itu, Fin,”
Kudengar suaranya melemah dan ia memijat keningnya pelan. Maaf Mida, Rifa. Membuat kalian begitu khawatir dengan kekonyolanku. Dengan perasaanku yang bahkan aku pun tak bisa mengendalikannya. Aku yang salah, aku yang bodoh.
Aku pun yakin kalian akan menyalahkanku jika kalian tahu semuanya. Aku yang overprotective, mengekang kekasihku sebegitu ketat, memegang tangannya begitu erat, tapi mencintainya jauh lebih dari apapun. Yang masih mencintainya meski sudah lebih dari 5 kali ia mengatakan bosan, bosan, dan begitu bosan.
Jika kalian bertanya, apa yang kucintai dari Radit, aku pun tak tahu harus mengatakan apa. Aku suka semuanya dari Radit. Aku suka dia. Aku cinta dia. Aku menggilainya, hingga begitu gila. Dan kini, saat gilaku benar-benar sudah diujung batasnya, ia mengatakan ia begitu lelah denganku, ia sudah bosan dengan hubungan ini.
Aku masih tak mengerti denganmu, aku masih begitu yakin dengan cintamu.
Kembali kuusap air mataku, pedih dan jauh lebih pedih dalam setiap tetesnya. Kualihkan pandanganku pada kaca jendela. Hujan diluar masih begitu deras, gorden jendela kamar kosku bergerak-gerak tertiup angin.
 Aku selalu suka hujan, hujan yang dingin, segar, dan mengalir. Radit yang mengalir, apa adaya, kurus dan dingin, menyegarkan, membuatku ingin lebih dekat dan dekat. Aku ingin memiliki Radit sebanyak-banyaknya, selama-lama mungkin, tapi itu sama halnya dengan tidak mungkin.
Hujan itu datang, menyegarkan, mengalir, hilang ditelan bumi, menempuh siklusnya dan ia akan kembali lagi. Memberikan asa lagi, lalu hilang lagi. Dan Radit itu seperti hujan, tapi aku tak ingin ia menjadi hujan. Aku ingin dia di dekatku saja, menggenggam tanganku saja, aku tak ingin yang lain pun ingin memilikinya. Tapi bahkan air pun dibutuhkan semua makhlik hidup dan ia senang dibutuhkan semua orang, sama seperti Radit.
Dan kuamati lagi hujan itu. Masih sebegitu deras, sebegitu nyata. Menggantikan Radit yang tak mau bahkan untuk sekedar mengangkat telpon ku, ia sudah lelah dikekang. Ia tak bisa lagi denganku. Dan itu membuatku menangis lagi, sakit lebih dari sekedar sakit.
Semalam aku menelpon Rifa, menangis lama, bercerita lama, tapi bahkan itu tak bisa mengurangi luka menganga di hatiku. Mida kembali menatapku, Ia benar-benar sudah menyerah denganku, tak tahu apalagi yang harus ia katakan untuk sekedar menghiburku. Hanya Radit yang bisa Mida, beri aku Raditku lagi, aku butuh dia, butuh seperti air dan nafas.
Seringkali aku merasa Radit begitu menyayangiku. Tapi siapa yang rela menyerahkan waktunya untuk gadis sepertiku? Yang tak memiliki satupun dari sebuah kesempurnaan. Aku tidak cantik, tidak baik, tidak bertubuh indah, tapi bahkan aku berani menuntut sebegini banyak. Ia pasti sudah sampai batasnya. Ya, ia sudah bertahan begitu lama.
Dulu, awal-awal dulu ia selalu bersedia meluangkan waktunya untukku, menghabiskan banyak waktunya untukku. Bahkan ia akan memilihku daripada sahabat-sahabat terbaiknya. Meyakinkanku bahwa ia benar-benar mnyukaiku bukan sekedar kasihan.
Mungkin jatah kebahagiaanku sudah kuambil semua dulu itu, saat ia benar-benar mengalah padaku dan aku yang begitu egois selalu menuntut lebih darinya. Dan haruskah aku menyalahkannya sekarang saat ia bosan dan aku masih begitu membutuhkannya? Sebegitu mencintainya sampai begini sakit.
Aku bingung, sayang. Aku bingung apalagi yang harus kulakukan.
Aku sering bertanya padanya apa salahku hingga ia bahkan tak sudi lagi menatap wajahku, bercanda denganku seperti waktu dulu. Tapi itu hanya pura-pura, hanya kebohongan dan ilusi dari keegoisanku sendiri.
Sepenuhnya aku tahu ia tak lagi seperti dulu, yang sudi menemaniku sebanyak apapun buruknya aku. Sepenuhnya aku yakin ia akan lebih baik tanpaku, lebih bahagia menikmati waktunya tanpaku. Tapi bagaimana denganku ini? Yang belum bisa kau campakkan begini, belum mampu kehilangan hujanku. Masih ingin bersamamu selamanya.
Aku tak ingin menyalahkanmu atas semua ini.
Aku ingin secepat mungkin melepaskanmu dari kekejamanku, tapi aku belum mampu, aku begitu takut dan depresi tanpamu.
Angin menerpa wajahku dengan kencang. Mengaburkan pandanganku. Begitu pedih dan memukau pada saat yang bersamaan. Hujan pelan-pelan mereda, berpadu dengan angin menyusuri udara, kehampaan.
Aku menghela nafas pelan. Aku masih terisak pelan. Hujan hapus airmataku, seperti Radit yang selalu melakukannya, dulu. Aku mencintainya hujan, hingga aku tak bisa menemukan kata yang mampu mewakili rasa ini padanya. Aku menggilainya hujan, sampai hatiku rasanya kebas.
Tadi siang aku bertemu dengannya. Tapi ia mengabaikanku lagi. Kami dekat, tapi begitu jauh. Semakin kudekati, semakin lebar langkahnya menjauh.
‘Kumohon tetaplah disini, mencintaiku sama seperti dulu. Menjalani semuanya seperti dulu. Aku berjanji akan membuatmu bahagia lagi, tersenyum lagi seperti dulu, aku tak akan mengekangmu.’
Dan itulah jeritan keegoisanku. Ia tak ingin denganku lagi. Ia ingin berpisah, berakhir semua. Dan aku selalu memaksanya, mengancamnya untuk selalu dekat, memarahinya agar selalu di sampingku. Aku selalu berilusi ia bahagia denganku, meyakinkanku bahwa ia bahagia dengan semua ini. Padahal aku tahu itu hanya sebuah kebohongan semu.
Air mataku mengalir kesetanan. Ia mencampakkanku sekarang, dan itu bukan salahnya. Aku mencintainya lebih banyak sekarang, dan ia terlalu jenuh untuk sekedar memandangku.
Aku ingin move on, aku ingin berhenti mencintaimu, aku menyesal menyakitimu saat bersamaku, begitu menyesal sampai mati rasa. Aku ingin bisa membebaskanmu sekarang, tapi aku selalu ingin tidur selamanya saat tahu kita tak ada hubungan apa-apa lagi.
Maafkan aku.
Maafkan salahku padamu, segala kekangan, segala sikapku yang sering menyakitimu.
Mungkin sehari, seminggu, sebulan atau setahun lagi jika aku bisa bernafas tanpa memilikimu, aku berjanji tak akan memaksamu lagi, aku berjanji akan melepaskanmu. Aku yakin kamu tahu jika aku masih sangat menyanyangimu, dan itu justru menyakitimu lebih banyak.
Hujan sudah berhenti, tetes-tetes terakhir menghujani tanah. Meninggalkan ku lagi sampai entah kapan. Kututup tirai jendela dan aku berbalik, mengusap airmata yang bahkan tak kuasa berhenti.
Aku selalu ingin membuatmu bahagia sayang, tersenyum denganku. Tapi jika aku selalu dan selalu membuatmu terkekang dan bersedih, maka bahagialah tanpaku. Aku berusaha melepaskanmu sekarang. Mungkin ini yang terbaik yang bisa kulakukan untuk bahagiamu. Hubungan ini lebih dari cukup untuk sekedar menyakitimu.
One step closer to move on.
 
Copyright (c) 2010 fitri lilut and Powered by Blogger.